TERKINI – Hampir empat tahun terakhir Tini Kasmawati mengabdikan dirinya menjaga dan merawat Owa Jawa (Hylobates Moloch) di kawasan Perum Perhutani di Kampung Cimaranginan, Desa Lengkong, Kecamatan Lengkong, Kabupaten Sukabumi. Di balik kepeduliannya terhadap satwa langka itu, penglihatan Tini ternyata tidak sempurna. Ia merupakan penyandang disabilitas tuna netra.
SUKABUMI EKSPRES, Lengkong
DI kawasan hutan itu Tini terlihat sigap menjaga dan merawat Owa Jawa. Keterbatasan penglihatannya itu sudah dialami sejak 2014 lalu.
“Saat itu pandangan saya mulai kabur,” ujar perempuan berusia 47 tahun ini.
Tini memang sudah berkomitmen untuk menjaga primata itu. Untuk pasokan makanan, Tini merogoh koceknya sendiri dari usaha membuka warung kopi dengan pendapatan per hari rata-rata Rp50 ribu.
“Kadang sering tekor juga. Kadang kalau sedang tidak punya uang, saya minta buah dari kebun warga,” jelasnya.
Tini memang hidup sebatang karang. Ia merupakan pegiat satwa langka. Di sana terdapat lima ekor Owa Jawa. Jumlah itu mengalami degradasi karena sebelumnya populasi Owa Jawa mencapai ratusan ekor. Namun karena terjadi alih fungsi lahan dan perburuan liar, populasi Owa Jawa semakin menurun.
“Yang terdata sekitar 40 ekor. Tapi yang sering terlihat 5 ekor,” jelas Tini.
Tini mengaku, dirinya terinspirasi mengabdi merawat Owa Jawa, karena merasa malu terhadap para turis dari luar negeri yang datang jauh-jauh dengan biaya perjalanan cukup besar hanya untuk melihat dan memperhatikan kondisi kehidupan Owa Jawa yang diambang kepunahan. Sedangkan pemerintah indonesia sendiri, waktu itu belum ada perhatian terhadap hewan langkah ini yang sulit ditemukan ditempat lain.
“Jangankan di tempat lain, warga asli yang tinggal disekitar hutan tidak pernah lihat hewan tersebut. Terlihatnya hewan itu, ketika sekelompok turis asal Belanda, mencari dan meneliti jejak kehidupan dan keberadaan Owa Jawa,” jelas Tini.
Tini menjelaskan, tadinya hewan tersebut berjumlah enam ekor yaitu dua yang kecil bernama Tina dan Naruto. Sedangkan yang besar yaitu, Abah dan Emak. Adapun dua ekor lagi bernama Wiki dan Jojo. Namun Jojo tewas karena tersengat listrik di atap rumah warga saat berkeliaran di perkampungan.
Saat ini Tini terus dihantui kekhawatiran populasi Owa Jawa yang terus berkurang. Kondisi itu juga berpengaruh bagi cadangan makanan satwa primata pemakan buah endemik pulau Jawa yang mulai langka ini. “Saya khawatir habitat persediaan makanannya tergusur oleh pembalakan hutan,” ujar Tini.
Merawat Owa Jawa, kata Tini, bukan perkara mudah. Untuk menemui Owa Jawa, dirinya terpaksa menelusuri hutan setiap jam 7 pagi, lalu jam 12 siang, dan menjelang sore. Ia pun harus membagi waktu untuk jualan di warung.

Untuk memberi makan pun tidak bisa dilakukan sembarang orang. Owa Jawa baru keluar dari habitatnya saat Tini memanggilnya saat waktu jam makan walaupun jaraknya berkilo-kilo meter. Tini menaruh harapan besar kepada Pemerintah Kabupaten Sukabumi atau instansi terkait agar diberi lahan atau bantuan untuk konservasi Owa Jawa dari ancaman kepunahan dan perburuan liar.
“Mereka hanya berjanji akan ikut memperhatikan kelangsungan hidup Owa Jawa, tetapi hingga saat ini hanya omongan dan tidak terbukti. Bantuan hanya dari pemerintah desa setempat memberi Rp1 juta,” pungkasnya. (*)