SeputarSukabumi – Hubungan negara-negara Arab dengan Palestina menunjukkan kompleksitas yang dipengaruhi oleh sejarah panjang, konflik regional, serta kalkulasi politik masing-masing negara. Meski secara prinsip mendukung kemerdekaan Palestina, sebagian negara Arab belakangan ini mulai menjalin hubungan diplomatik dengan Israel.
Yordania, yang menampung banyak pengungsi Palestina sejak 1948, sempat menjadi markas besar PLO. Namun, kekhawatiran akan stabilitas internal membuat hubungan mereka lebih berhati-hati. Sejak 1994, Yordania menjalin hubungan resmi dengan Israel melalui perjanjian damai.
Sementara itu, Lebanon yang memiliki sejarah konflik panjang dengan kelompok Palestina, tetap menyuarakan dukungan formal terhadap pengungsi Palestina, namun secara praktik menerapkan pembatasan hak sipil untuk menghindari permanennya status mereka.
Mesir, sebagai salah satu aktor utama di dunia Arab, memainkan peran penting dalam perundingan antara Hamas dan Israel. Walau secara terbuka mendukung Palestina, Mesir juga menerapkan kebijakan keamanan seperti blokade terhadap Gaza, yang kerap dikritik.
Uni Emirat Arab dan Sudan adalah contoh negara yang melakukan perubahan drastis dengan menormalisasi hubungan dengan Israel sejak 2020 melalui Kesepakatan Abraham, mengesampingkan prinsip tradisional bahwa normalisasi harus didahului oleh terbentuknya negara Palestina.
Kuwait, yang dulu menjadi salah satu pendukung kuat Palestina, mengambil sikap berbeda pasca dukungan Yasser Arafat terhadap invasi Irak ke Kuwait. Hubungan memburuk dan warga Palestina pun mengalami diskriminasi di negara tersebut.
Arab Saudi masih mempertahankan dukungan terhadap Palestina secara prinsipil melalui Inisiatif Perdamaian Arab, namun juga menunjukkan tanda-tanda terbuka terhadap normalisasi dengan Israel.
Secara keseluruhan, negara-negara Arab terpecah dalam merespons konflik Israel-Palestina, antara mendukung perjuangan rakyat Palestina dan mengutamakan kepentingan geopolitik dan ekonomi domestik mereka masing-masing.